-->

TNI Lakukan Penyelidikan Kematian Makilon Tabuni, Siswa Puncak Dituduh Mencuri Senjata

TNI Lakukan Penyelidikan Kematian Makilon Tabuni, Siswa Puncak Dituduh Mencuri Senjata
Warga mengangkat jenazah Makilon Tabuni, 12, untuk dikremasi di Sinak, Kabupaten Puncak Papua, 24 Februari 2022. - (BeritaBenar)

JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih melakukan penyelidikan terhadap tewasnya seorang anak laki-laki di Papua yang diduga dianiaya oleh tentara usai dituduh mencuri senjata seorang prajurit, kata komandan militer setempat Selasa (1/3/2021).

Makilon Tabuni, 12, seorang siswa SD Inpres Sinak, meninggal dunia pada 22 Februari setelah ditangkap dua hari sebelumnya karena dituduh bersama temannya mengambil sepucuk senjata milik seorang anggota TNI di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, kata warga setempat dan kelompok hak asasi manusia.

Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih yang membawahi wilayah Papua menyatakan investigasi mendalam sedang dilakukan.

“Tim investigasi telah berada di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak dan telah meninjau Posko Bandara Sinak, tempat kejadian perkara, dimana merupakan tempat hilangnya senjata api dan lokasi dugaan penganiayaan,” kata Kolonel Inf. Aqsha Erlangga, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) Cendrawasih.

“Tim investigasi juga telah memeriksa sejumlah prajurit TNI yang diduga mengetahui dan berkaitan langsung dengan kejadian hilangnya senjata… dengan mengedepankan praduga tidak bersalah.”

“Saya harap masyarakat dapat bersabar, karena tim investigasi terus melakukan penelusuran untuk memperoleh data yang benar,” kata Kolonel Inf. Aqsha Erlangga.

Hal senada disampaikan juga oleh Wakapendam Letnan Kolonel Inf. Chandra Kurniawan yang mengatakan bahwa TNI baru akan membuka perkara setelah investigasi tuntas.

Jenazah Makilon, yang merupakan anak Kepala Kampung Kelemame, dikremasi di depan Polsek Sinak pada tanggal 24 Februari dan diperabukan sebagaimana adat istiadat setempat, kata pegiat hak asasi manusia di Papua, Okto Tabuni.

Okto mengatakan dia tak dapat memastikan di mana Makilon meninggal. Ia hanya mengatakan bahwa Makilon sudah meninggal dunia saat sampai di Puskesmas Sinak pada 22 Februari malam.

"Sempat diupayakan membawa (Makilon) ke Puskesmas Sinak, tapi sudah meninggal saat sampai di sana," ujar Okto kepada BenarNews.

Okto pun mengatakan dia tidak tahu detail mengenai luka Makilon, karena jenazah sudah terlanjur dikremasi keluarga di depan markas kepolisian keesokan paginya.

Menurut Okto, pembakaran jenazah jamak dilakukan masyarakat di kawasan Puncak Papua jika ada kerabat atau saudara yang meninggal secara tidak wajar. "Secara budaya, itu adalah bentuk protes mereka kepada aparat," terang Okto.

Okto mengatakan jaringan internet dan selular di Sinak mati sejak 23 Februari. "Setelah berita itu ramai di media sosial, jaringan mati sampai saat ini," lanjutnya.

Juru bicara Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal ketika ditanya terkait kasus kematian mengatakan, “Saya perlu tegaskan polisi tidak terlibat.” Dia menolak berkomentar lebih lanjut.

Seorang warga yang hanya mau disebutkan dengan inisial YK, karena alasan keamanan, mengatakan dua orang anak diduga mengambil satu pucuk senjata milik anggota TNI bernama Prada Kristian Sandi Alviando di Pos PT. Modern, di sekitar Bandara Tapulinik Sinak.

Kristian sedang menonton televisi setelah menjalankan tugas patrol pengamanan bandara saat mengetahui bahwa senjata miliknya hilang.

Kristian bersama anggota tim lainnya menduga anak-anak yang sebelumnya menonton TV di Pos PT. Modern yang mengambil senjatanya dan mencari mereka, persisnya di sekitar tiga gereja yaitu GKII Kelemame, Gereja GKII Kumisila, dan GKII Mogolu di sekitar Kampung Kelemame.

“Dalam pengejaran itu aparat gabungan TNI dan Polri menangkap tujuh orang anak-anak usia SD,” kata YK kepada BenarNews.

YK mengatakan setelah jenazah Makilon diperabukan, masyarakat setempat minta agar enam orang yang masih ditahan itu dikeluarkan agar bisa diobati di rumah sakit. Akhirnya keenam anak yang ditahan di Polsek Sinak itu dikeluarkan dan dirawat di rumah sakit.

TNI sempat menyangkal

Setelah dugaan penganiayaan yang berujung kematian itu ramai di media sosial, TNI sempat menyangkal dengan menyatakan bahwa isu tersebut adalah kabar bohong.

Kapendam Cenderawasih Kol. Aqsha mengatakan akhir pekan lalu bahwa petugas juga telah menangkap seorang guru dengan inisial DM yang menyebarkan foto pembakaran jenazah Makilon sehingga viral di media sosial yang dalam sejumlah posting dilabeli sebagai “hoaks” atau berita bohong.

“Pelaku DM telah mengakui bahwa dirinya merupakan orang yang mengirimkan foto pembakaran jenazah Makilon Tabuni ke grup Whatsapp KMPP (Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Puncak),” kata Aqsha, menambahkan bahwa DM mengatakan bukan dirinya yang menyebarkan foto itu di sosial media.

Aqsha tidak menjelaskan kenapa postingan foto tersebut diklaim oleh TNI sebagai berita bohong.  

“Aparat Keamanan yang dirugikan telah melaporkan DM atas pemberitaan yang melanggar UU, kemudian DM akan diproses hukum oleh pihak yang berwenang terkait pelanggaran UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang dilakukannya sendiri,” ujarnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti saat dihubungi mengatakan, TNI semestinya tidak buru-buru melabeli berita kematian Makilon sebagai hoaks.

"Harus dibuktikan lewat investigasi yang melibatkan pihak lain seperti Komnas HAM dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), agar terukur dan transparan jika ada dugaan pelanggaran," ujar Fatia.

"Tidak seharusnya dianiaya"

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan apapun alasan yang dituduhkan kepada Makilon, ia tidak seharusnya dianiaya.

“Kami juga mengingatkan, warga sipil, apalagi anak-anak, tidak boleh menjadi korban hingga terluka, apalagi meninggal dunia dalam wilayah konflik bersenjata,” kata Usman.

Lanjut Usman, dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap korban harus segera diinvestigasi secara menyeluruh, independen, transparan, dan tidak berpihak.

“Demi keadilan, negara harus memastikan siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ini,” tegas Usman.

Usman menegaskan kasus Makilon bukan pertama kalinya seorang anak menjadi korban pembunuhan di luar hukum.

Okto juga mengatakan hal senada.

"Ini kan bukan kasus pertama anak-anak meninggal akibat pengerahan militer di Papua. Maka, pelibatan pihak lain dalam investigasi harus dilakukan agar tidak menjadi preseden buruk ke depannya," kata Okto, seraya menambahkan seorang siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) juga tewas usai terkena peluru nyasar saat kontak tembak di Kabupaten Puncak pada Juli 2020.

Dua orang bocah juga terkena tembakan --satu di antaranya meninggal dunia, saat kontak tembak antara aparat keamanan dan kelompok separatis pada Oktober 2021 di Kabupaten Intan Jaya.

Mengenai desakan pegiat HAM yang meminta investigasi, BenarNews menghubungi Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, namun sampai saat ini belum beroleh tanggapan.

PBB: Situasi HAM memburuk di Papua

Senin, para pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan keprihatinan serius tentang apa yang mereka sebut "situasi hak asasi manusia yang memburuk" di provinsi Papua dan Papua Barat, mengutip "pelanggaran yang tidak terkira" terhadap penduduk asli Papua.

“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pengusiran paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan,” kata para pakar tersebut dalam statemen yang dikeluarkan oleh Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR).

Mereka mengatakan sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, jumlah penduduk yang harus mengungsi diperkirakan antara 60.000 hingga 100.000 orang.

Konflik separatism telah berlangsung di Papua sejak tahun 1960an. Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969, namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang.

Pada 2003, Papua dibagi menjadi dua provinsi – Papua dan Papua Barat.

Kekerasan di Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan korban tewas dari pihak aparat keamanan, kelompok separatis dan rakyat sipil serta ribuan warga terpaksa mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri. (Victor Mambor/Arie Firdaus|BeritaBenar)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

Iklan Bawah Artikel